Rabu, Oktober 15, 2008

Ulasan Pasar 14 Oktober 2008

Oleh Harry Setiadi Utomo, Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit

Bursa saham kembali melanjutkan rebound di hari perdagangan kedua pekan ini. IHSG ditutup naik 94,04 poin (6,44%) ke level 1.555,97. Kenaikan IHSG masih dipengaruhi oleh faktor teknis dan rencana buyback saham-saham BUMN serta harga komoditas CPO dan minyak dunia. Pergerakan positif indeks regional ikut menopang aksi beli investor kemarin. Indeks Hangseng naik 3,19%, indeks STI Singapura naik 3,65%, indeks KOSPI naik 6,1%, dan indeks Nikkei225 naik 14,15%.

Selain tertopang rencana buyback, saham PTBA dan PGAS mendapat sentimen positif dari pergerakan harga minyak dunia yang mencatat kenaikan 4,5% kemarin ke level $81 per barel. Saham MEDC ikut mencatat kenaikan sebesar Rp250 (9,5%) ke level Rp2.875, Medco Energi Internasional menganggarkan dana sebesar US$100juta untuk buyback saham sebanyak maksimal 10% saham di bursa. Saham PTBA naik Rp550 (9,57%) ke level Rp6.300 dan saham PGAS naik Rp170 (9,77%) ke level Rp1.910.

Harga komoditas CPO yang sempat anjlok ke level terendahnya dalam dua tahun terakhir ke level $449 per ton di akhir pekan lalu akibat koreksi harga minyak dunia yang menyentuh level $77 per barel, kemarin bergerak naik ke level $529 per ton memberikan sentimen positif bagi saham Astra Agro Lestari (AALI) dan London Sumatera (LSIP). Saham AALI naik Rp850 (9,8%) ke level Rp9.550 dan saham LSIP naik Rp225 (9,7%) ke level Rp2.550.

Saham ANTM naik Rp110 (9,57%) ke level Rp1.260, selain oleh rencana buyback, pergerakan harga saham ANTM dipengaruhi oleh penandatanganan tiga kontrak karya tambang batu bara oleh pemerintah, yang salah satunya dimiliki oleh konsorsium Aneka Tambang dengan BHP Biliton di kepulauan Halmahera.

Saham Bank Mandiri bergerak naik sebesar Rp175 (8,05%) ke level Rp2.350 setlah muncul informasi, Bank Mandiri mendapatkan pinjaman sebesar US$1 miliar dari sejumlah bank asing untuk mendukung ekspansi kredit perseroan dalam denominasi dolar AS.

Dari sektor telekomunikasi, saham TLKM naik Rp650 (9,85%) ke level Rp7.250, dan saham ISAT naik Rp425 (9,82%) ke level Rp4.750. Nilai rupiah yang cenderung menguat terhadap dolar AS dalam dua hari terakhir ke level Rp9.700 mengurangi kekhawatiran meningkatnya biaya hutang Telekomunikasi Indonesia yang berdenominasi dolar AS. Kepastian izin Qatar Telecom untuk menggelar tender offer hingga kepemilikan saham ISAT menjadi 65% masih menjadi penopang rebound saham ISAT pada perdagangan kemarin.

Selasa, Oktober 14, 2008

Ulasan Pasar 13 Oktober 2008

Oleh Harry Setiadi Utomo, Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit

Indeks harga saham gabungan pada awal pekan ini berhasil ditutup menguat tipis sebesar 10,20 poin (0,7%) ke level 1.461,9 meskipun pada sesi I perdagangan sempat anjlok 49,77 poin (-3,43%) ke level 1.401,9 oleh aksi jual investor yang tertahan pada sesi I rabu pekan lalu.

Faktor sentimen ke bursa menjadi topangan pelaku pasar dalam mendongkrak IHSG di sesi II perdagangan kemarin. Pelaku pasar mulai percaya diri untuk melakukan pembelian meskipun dengan kondisi selective buying terhadap saham-saham blue chips terutama saham-saham BUMN. Selain disebabkan faktor teknis harga yang telah oversold, rencana buyback saham-saham BUMN dengan penyediaan dana total dari emiten-emiten BUMN sebesar Rp6 triliun berhasil mendongkrak harga saham Aneka Tambang (ANTM) sebesar Rp100 menjadi Rp1.150, saham Perusahaan Gas Negara (PGAS) sebesar Rp150 menjadi Rp1.740, saham PT Tambang batu bara bukit asam (PTBA) sebesar Rp500 menjadi Rp5.750 dan saham Telekomunikasi Indonesia (TLKM) sebesar Rp150 menjadi Rp6.600, dan saham Semen Gresik (SMGR) sebesar Rp180 menjadi Rp2.030.

Kepercayaan pelaku pasar bertambah setelah muncul kepastian Qatar Telecom untuk menggelar tender offer saham Indosat (ISAT) untuk menaikkan kepemilikannya terhadap perusahaan telekomunikasi tersebut menjadi 65%. Saham ISAT kemarin ditutup menguat Rp375 menjadi Rp4.325.

Aturan baru bursa efek Indonesia mengenai auto rejection terhadap fluktuasi harga saham dari 30% menjadi 10% membuat investor merasa lebih aman dalam bertransaksi di bursa. Selain itu, kondisi nyaman investor ditambah dengan keputusan pemerintah yang menaikkan jaminan dana bank hingga Rp2 miliar dari semula Rp100 juta yang akan mengurangi aksi spekulasi di bursa saham.

Pelaku pasar juga mengikuti pergerakan rebound indeks saham regional Asia pasifik seperti Hang Seng yang naik 10,24%, KOSPI naik 3,62%, STI Singapura naik 7,18%, dan Shanghai naik 3,65%.

Namun, IHSG juga mendapat tekanan dari saham-saham perbankan seperti saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) yang turun Rp50 menjadi Rp4.225 dan saham Bank Mandiri (BMRI) yang turun Rp125 menjadi Rp2.175. Kenaikan BI rate menjadi 9,5% pekan lalu dan nilai rupiah yang masih melemah di Rp9.800/US$ atau di atas level aman Bank Indonesia Rp9.500/US$ berpotensi masih menguatkan laju inflasi karena naiknya biaya impor (imported inflation) dan menyulitkan perbankan untuk meningkatkan pendapatan bunga bersih dari penyaluran kredit, di samping harus menghadapi risiko naiknya NPL. Permintaan kredit konsumsi masyarakat diprediksi akan menurun seiring biaya kredit yang meningkat.

Senin, Oktober 13, 2008

Mau kemana ekonomi kita?


Kasus bangkrutnya Lehman Brothers, salah satu institusi keuangan terbesar AS, menjadi pemicu melemahnya bursa regional Asia Pasifik termasuk bursa saham Indonesia yang dikategorikan sebagai salah satu emerging market. Ketika muncul berita Lehman Brothers mengalami bangkrut dan mengajukan kepailitan, terjadi semacam shock condition pada investor asing maupun investor lokal di bursa efek Indonesia.


Investor asing melakukan aksi jual saham di bursa kita untuk menutup kerugian mereka dari merosotnya imbal hasil di bursa New York dan juga bursa negara maju lainnya seperti bursa Tokyo. Hasilnya, selama sepekan terakhir awal Oktober ini, bursa efek Indonesia ditutup terkoreksi tajam sebesar 10,03% atau 183,76 poin dari penutupan sepekan sebelumnya (29/9) ke level 1.648,74. Investor asing mencatat penjualan bersih sebesar Rp117 miliar sebagai kompensasi menutup kerugian mereka di bursa global selama sepekan terakhir akibat sentimen negatif krisis keuangan AS. Dampak dari aksi jual investor asing tersebut, nilai rupiah terhadap dolar AS terus melemah ke level Rp9.599/US$ pada awal Oktober lalu, posisi terendah sejak Agustus 2007.


Sejak awal September 2008 hingga awal Oktober 2008, IHSG telah terkoreksi sebanyak 515,88 poin (-23,83%) dari level 2.164,62 ke level 1.648,74 dan nilai rupiah terhadap dolar AS ikut melemah sebesar 4,78% dari posisi Rp9.161,00/US$. Aksi investor asing melepas portofolionya ikut melemahkan rupiah terhadap dolar AS. Nilai rupiah terhadap dolar AS yang melemah sangat tidak menguntungkan bagi kegiatan impor kita karena akan membuat harga barang impor menjadi lebih mahal dan akan membuat daya beli masyarakat dalam negeri ikut melemah.


Dampak dari lemahnya likuiditas pada sektor keuangan AS sudah pasti akan dirasakan oleh kegiatan ekspor Indonesia ke AS dalam jangka panjang. Melemahnya likuiditas di sektor keuangan akan membuat masyarakat AS kesulitan mendapatkan kredit konsumsi selain menghadapi pengurangan gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja akibat melambatnya kegiatan ekonomi yang pada akhirnya menjadikan mereka kehilangan daya beli. Berdasarkan proyeksi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, krisis finansial AS berpotensi menekan ekspor Indonesia ke negara tersebut hingga 20% pada triwulan IV-2008.


Dalam jangka pendek, ekspor Indonesia ke AS memang tidak secara langsung terasa dampaknya akibat krisis keuangan di negara adidaya tersebut. Namun, untuk jangka panjang hingga tahun 2009 akan mulai terasa dampaknya karena akan diikuti oleh melemahnya nilai ekspor ke negara lainnya seperti China, India, dan Jepang seiring pelemahan nilai ekspor mereka ke AS. Akumulasi pelemahan ekspor dalam jangka panjang inilah yang mesti diwaspadai oleh Indonesia.


Bila kita mendasarkan data pada Departemen Perdagangan, tujuan pasar ekspor Indonesia saat ini memang semakin terdiversifikasi, peran AS dan Eropa semakin menurun sehingga dampak langsung dari krisis finansial di Amerika Serikat tersebut belum akan dirasakan hingga akhir 2008. Pangsa ekspor ke Eropa cenderung menurun dari 17,1% pada 2003 menjadi 13,9% pada pertengahan 2008 dan ke AS dari 14,7% menjadi 11,6%.


Kondisi yang perlu diwaspadai adalah jika krisis ini berkelanjutan maka ekspor Indonesia akan terpengaruh, maka dari itu diversifikasi pasar yang telah berlangsung mesti terus digalakkan guna mengantisipasi resesi di AS dan Eropa serta kemungkinan terjadinya penurunan pertumbuhan negara-negara Asia karena resesi di negara-negara maju.
Produk ekspor utama Indonesia ke Amerika Serikat seperti produk tekstil, karet, udang, kopi, kakao dan sepatu diperkirakan masih dapat tumbuh walaupun ada beberapa produk yang mengalami penurunan seperti halnya produk kayu olahan dan furnitur. Hal ini berkaitan dengan menurunnya pembangunan perumahan di AS.


Dengan kecenderungan melemahnya harga komoditi utama ekspor Indonesia di pasar internasional seperti saat ini dan melemahnya permintaan dunia, dalam semester kedua tahun 2008 ekspor Indonesia akan menghadapi tantangan yang cukup berat yang pada dasarnya sudah diperhitungkan sejak awal tahun sehingga target ekspor nonmigas tahun 2008 sebesar 12,5 persen yang sesuai dengan proyeksi pertumbuhan pemerintah sebesar 6,3%, masih akan tercapai.


Sebelum guncangan krisis keuangan AS kali ini, perlambatan pertumbuhan ekonomi AS karena kisruh di sektor properti tahun 2007 akibat krisis subprime mortgage atau gagal bayar kredit perumahan yang bernilai rendah, juga telah menekan ekspor Indonesia ke AS. Pada tahun 2007, ekspor Indonesia ke AS hanya tumbuh 5%, jauh lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekspor sepanjang 2002 hingga 2006 yang mencapai 12% per tahun.


Kondisi ini menunjukkan bahwa ekspor Indonesia tidak bisa terus-menerus tergantung oleh perekonomian AS dan perlu meningkatkan diversifikasi pasar ekspor bagi produk Indonesia. Bila dipertahankan, maka yang terjadi adalah pembeli di AS pasti akan meminta negosiasi harga. Ketergantungan Indonesia terhadap perekonomian negara maju seperti AS yang menganut sistem pasar bebas justru membuat Indonesia sulit untuk membangun secara mandiri.


Aksi jual saham besar-besaran yang memperlemah nilai rupiah terhadap dolar AS serta potensi melemahnya nilai ekspor mestinya dapat diantisipasi bila produsen kita tidak tergantung oleh pasar AS dan kita dapat mengandalkan pasar lain sebagai tujuan ekspor.


Dampak dari pelemahan nilai ekspor tentunya akan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Indonesia seperti berkurangnya kegiatan produksi dalam negeri yang berujung pada pemutusan hubungan kerja dan permasalahan sosial serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi akibat turunnya pendapatan masyarakat. Bila kondisi tersebut terjadi, akan semakin sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan statusnya dari saat ini sebagai negara berkembang. Seperti yang dijelaskan oleh Dos Santos dalam teori Struktur Ketergantungan yang menyebutkan kegiatan perdagangan negara berkembang yang terpusat pada negara maju akan membuat suatu hubungan yang tidak sederajat. Hal ini disebabkan karena negara maju sebagai pembeli tunggal akan berupaya mengatur harga yang akan merugikan negara berkembang.


Selain itu, banyaknya kegiatan ekspor negara berkembang yang berbentuk komoditas primer, seperti tekstil, memaksa Indonesia untuk fokus pada komoditas tersebut karena jaringan pemasaran yang telah terbentuk sebelumnya, sudah dikuasai oleh negara maju dalam hal ini AS. Indonesia bahkan akan semakin tidak mempunyai pilihan lain dalam orientasi produk ekspornya selain komoditas primer karena hanya di bidang itulah ekspor Indonesia mempunyai porsi yang besar untuk meningkatkan devisa dalam negeri yang akan digunakan untuk kepentingan pembangunan ekonomi dalam negeri. Berdasarkan data Kadin, pasar AS merupakan tujuan ekspor terbesar bagi produk tekstil Indonesia karena sebesar 43% dari total ekspor tekstil diserap pasar AS pada tahun 2007.


Akibat dari hubungan yang tidak sederajat dalam hal pengaturan harga dan juga penguasaan jaringan pemasaran produk primer ini, Indonesia juga akan selalu mengalami defisit dalam neraca pembayarannya karena di sisi lain, AS yang menguasai harga produk industri akan meningkatkan harga jual produknya melalui pengenaan biaya royalti untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat dari Indonesia. Posisi tersebut pada akhirnya akan membuat Indonesia semakin tergantung pada AS atau negara maju lainnya dalam hal pembiayaan defisit APBN.


Meskipun bila kita merunut pendapat Rostow dalam teori tahapan pertumbuhannya, bahwa bantuan pembiayaan defisit APBN adalah sebagai langkah yang diperlukan untuk mempercepat pencapaian negara berkembang menuju ke tahapan tinggal landas dan untuk proses percepatan itu diperlukan kerjasama dengan negara maju dalam bentuk penyediaan dana dengan pembangunan prasarana dan infrastruktur menjadi perhatian utama bantuan tersebut di dalam neraca APBN. Namun di sisi lain, negara maju seperti AS akan menuntut lebih banyak dalam hal lalu lintas masuk produk-produknya ke Indonesia untuk kepentingan pasar mereka. Hal inilah yang menjadi permasalahan negara berkembang seperti Indonesia yang terlalu berorientasi ekspor kepada negara maju dengan produk utama adalah komoditas primer, tetapi membutuhkan produk industri yang berharga jauh lebih tinggi dari nilai ekspor produk primer yang berujung pada defisit APBN dan makin besarnya bantuan dana dari negara maju yang meminta kelonggaran bagi produk-produk industrinya untuk masuk secara bebas mencari pasar dalam negeri serta menekan industri produk nasional.


Menghadapi krisis keuangan di AS, pertumbuhan industri dalam negeri dipastikan akan makin melemah karena ditambah beban beralihnya produk-produk negara lain seperti China dan India yang mencari pasar selain AS. Produk-produk tersebut tentu mencari pasar yang mudah dimasuki dan Indonesia merupakan salah satu pasar tersebut. Kondisi ini tentu akan semakin memberatkan persaingan dan pertumbuhan industri produk dalam negeri yang berpotensi akan melemahkan sektor riil dan kegiatan ekonomi yang berpusat pada rakyat. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk meninjau kembali sistem ekonominya yang cenderung berorientasi pada pasar bebas dan mengabaikan potensi pasar dalam negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan. Kebijakan perdagangan yang lebih liberal telah membuat produk dalam negeri terpuruk karena membanjirnya produk impor, sehingga perlu keberpihakan pemerintah untuk kepentingan nasional dalam perdagangan bebas.


Negara-negara maju menempatkan nasionalisme di atas kepentingan perdagangan bebas. Indonesia juga harus mampu meletakkan nasionalisme pada era sekarang dengan memberikan kemudahan, insentif, dan subsidi bagi perkembangan dan perlindungan produk nasional. Negara maju memiliki strategi untuk melindungi produk, misalnya dengan memberikan subsidi, hambatan tarif dan trik perlindungan atas nama hak asasi manusia, sedangkan Indonesia justru terlalu bebas yang berujung barang-barang dari luar masuk dengan leluasa. Contoh terbaru adalah produk batik dan tekstil asal China yang membanjiri pasar Indonesia dengan harga lebih murah dan pemerintah terkesan membiarkannya dengan alasan perdagangan bebas. Pemerintah baru sebatas memberikan program-program di atas kertas, misalnya "Cintai Produk Dalam Negeri" yang dicetuskan pada 2006, tetapi sampai saat ini slogan itu belum berjalan.


Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan kebijaksanaan pemerintah yang berpijak pada kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan yang berasal dari produktivitas rakyat dan dana yang dihimpun dari tabungan rakyat akan membuat rakyat menjadi lebih mandiri dan akan lebih kuat rasa nasionalismenya termasuk dalam penggunaan produk-produk industri dalam negeri, sehingga akan memperkokoh posisi Indonesia dalam era perdagangan bebas seperti sekarang ini.

Daya tahan dan daya saing nasional mutlak diperlukan untuk memperkuat perekonomian nasional dalam menghadapi ancaman dan krisis dari luar negeri seperti krisis keuangan di AS saat ini. Daya saing juga diperlukan dalam menghadapi gempuran produk luar negeri yang difasilitasi dengan pengurangan bea masuk.
Pembenahan dan penekanan biaya infrastruktur, biaya energi listrik, sistem logistik kepelabuhan dan kepabeanan termasuk penurunan biaya THC (Terminal Handling Cost) sangat diperlukan untuk memperlancar lalu lintas barang. Selain itu, debirokratisasi, penajaman insentif fiskal dan non fiskal kepada industri berorientasi ekspor serta diversifikasi pasar ekspor mutlak dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing ekspor dan pangsa pasar agar tidak terlalu tergantung kepada AS atau negara maju lainnya seperti China, India dan juga Jepang. Pengamanan pasar domestik melalui tindakan antisipasi Bea dan Cukai terhadap pengalihan barang-barang impor dari negara-negara lain perlu segera diterapkan agar industri dalam negeri terlindungi dan mampu meningkatkan pangsa pasarnya di dalam negeri.


Indonesia juga mengharapkan peran serta masyarakat untuk menopang kekuatan diri dengan meningkatkan kontribusi di sektor riil. Untuk itu, perbankan syariah yang memang berdiri untuk mengembangkan sektor riil diharapkan untuk semakin mempermudah akses masyarakat yang membutuhkan modal bagi pengembangan usahanya. Selain modal usaha, inovasi produk, dan strategi promosi juga ikut mempunyai andil dalam bersaing dengan produk luar negeri yang beralih masuk ke Indonesia. Kenapa saya mengatakan bank syariah? seperti yang anda lihat semua, di tengah krisis semacam ini Bank Indonesia justru kembali menaikkan suku bunga BI rate menjadi 9,5% atau naik 25bps yang diprediksi akan dapat meredam gejolak kenaikan harga (imported infaltion) dengan meningkatkan aliran dana masuk ke Indonesia dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, kondisi yang terjadi justru sebaliknya, kenaikan BI rate menambah kepanikan pelaku pasar karena berpotensi memperberat dunia usaha dalam mendapatkan kredit perbankan dan menurunkan daya saing industri akibat naiknya biaya dana. Selain itu, kenaikan BI rate pasti akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit yang memperberat biaya kredit konsumsi masyarakat dan berujung melemahnya penjualan di beberapa sektor, seperti konsumsi, industri dasar, dan aneka industri terutama otomotif dan ancaman kredit macet yang membayangi sektor perbankan, sehingga mendorong investor melepaskan asetnya di bursa. Selama sepekan kemarin, sektor konsumsi terkoreksi 10,85% ke level 339,97, industri dasar terkoreksi 21,67% ke level 127,63, aneka industri terkoreksi 20,8% ke level 258,29, dan sektor keuangan perbankan terkoreksi 12,66% ke level 177,62. bagaimana dengan rupiah? terus melemah ke level Rp9.800, bahkan sempat menyentuh Rp10.800 di pasar spot Hongkong pada jumat (10/10), karena investor asing makin tidak percaya dengan kondisi sektor riil dalam negeri, naiknya ancaman daya beli yang makin melemah yang berujung pada naiknya permintaan dolar AS agar nilai aset mereka tidak semakin tergerus. Investor lokal pun tidak kalah panik, mereka berusaha menutup kerugian akibat koreksi di bursa saham dengan membeli dolar AS, dan juga untuk mengamankan ketersediaan dolar AS untuk kepentingan impor.


Kita semua tentu diharapkan untuk selalu optimis, bahwa di setiap kejadian pasti akan membawa hikmah. Pengumpulan harta yang berlebihan dan tidak terkendali oleh institusi keuangan AS justru membawa dampak negatif tidak saja untuk negera tersebut, namun juga untuk negara-negara lainnya di dunia yang merupakan pasar bagi produk AS selama ini. Prinsip transaksi perdagangan yang berkeadilan harus lebih disadari dan diterapkan oleh pelaku pasar dan meninggalkan pola zero submit yang selama ini mewarnai perdagangan terutama di sektor pasar modal yang berujung terkurasnya dana investor lokal ke pelaku pasar luar negeri. Sungguh, kejadian ini sangat di luar dugaan kita semua. Pola ekonomi pasar yang tercipta dan digadaikan oleh AS selama ini ke negara-negara berkembang justru menghantam ekonomi negara adidaya tersebut, tanpa ampun. Kesombongan pelaku pasar untuk mengharamkan adanya campur tangan pemerintah pada akhirnya mesti runtuh oleh kerakusannya sendiri. Bagaimanapun juga, pada akhirnya pemerintahlah yang menangung segala hutang-hutang tersebut yang dibebankan dari pajak rakyat AS sendiri. Suatu harga yang mesti dibayar mahal oleh publik AS. Dan untuk Indonesia, mau kemana ekonomi kita selanjutnya?

Harry Setiadi Utomo, Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit

BI Rate & minyak ikut tekan bursa

Oleh Harry Setiadi Utomo, Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit

Selama sepekan terakhir, bursa saham diwarnai aksi suspend perdagangan pada pertengahan pekan atau hari rabu karena level IHSG anjlok cukup signifikan. Di awal pekan, IHSG ditutup di level 1.648,74 (-10,03%), di hari selasa ditutup di level 1.619,72 (-1,76%), dan menjelang akhir sesi I perdagangan hari rabu IHSG terkoreksi dan ditutup di level 1.451,67 (-10,38%). Pemberhentian perdagangan tersebut ditujukan agar IHSG tidak melemah ke level yang lebih rendah lagi.

Dari internal bursa, anjloknya bursa selama tiga hari pekan kemarin disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya data inflasi bulan September 2008 yang naik menjadi 0,97% dari bulan agustus 2008 (m-t-m), sedangkan di bulan agustus hanya naik sebesar 0,51%. Inflasi September untuk level tahunan telah mencapai level 12,14%. Merespon naiknya laju inflasi tersebut, Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga BI rate menjadi 9,5% atau naik 25bps yang diharapkan dapat meredam gejolak kenaikan harga dengan meningkatkan aliran dana masuk ke Indonesia untuk memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kondisi yang terjadi justru sebaliknya, kenaikan BI rate menambah kepanikan pelaku pasar karena berpotensi memperberat dunia usaha dalam mendapatkan kredit perbankan dan menurunkan daya saing industri akibat naiknya biaya dana. Selain itu, kenaikan BI rate pasti akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit yang memperberat biaya kredit konsumsi masyarakat dan berujung melemahnya penjualan di beberapa sektor, seperti konsumsi, industri dasar, dan aneka industri terutama otomotif dan ancaman kredit macet yang membayangi sektor perbankan, sehingga mendorong investor melepaskan asetnya di bursa. Selama sepekan, sektor konsumsi terkoreksi 10,85% ke level 339,97, industri dasar terkoreksi 21,67% ke level 127,63, aneka industri terkoreksi 20,8% ke level 258,29, dan sektor keuangan perbankan terkoreksi 12,66% ke level 177,62.

Selain data inflasi September dan kenaikan BI rate, anjloknya IHSG pada hari rabu juga dipicu oleh pemberhentian saham-saham milik grup Bakrie pada perdagangan sehari sebelumnya yang membuat pelaku pasar tidak bisa menjual kembali saham-saham tersebut untuk menutup kewajibannya saham-saham milik grup bakrie. Oleh karena itu, pelaku pasar terpaksa menjual saham-saham blue chips seperti ASII, TLKM, ISAT, dan PGAS untuk mendapatkan dana tunai. Aksi pelaku pasar tersebut membawa IHSG makin melemah ke level 1.451,67.

Dari eksternal bursa, pergerakan bursa regional dan global yang negatif ikut memicu kepanikan investor dan mendorong mereka untuk keluar sementara dari bursa untuk mencermati perkembangan bursa global terkait krisis likuiditas di AS. Selain itu, harga minyak dunia yang terus anjlok ke level $90 per barel dan harga komoditas batu bara yang semakin melemah ke level $111,90 atau turun 26,2% selama sebulan terakhir memberikan indikasi bagi pelaku pasar terhadap potensi pelambatan pertumbuhan ekonomi AS, yang akan melemahkan nilai ekspor Indonesia ke AS dan ke negara-negara lainnya yang memiliki tujuan ekspor utama adalah AS seperti China, India, dan Jepang. Pelaku pasar juga mengantisipasi beralihnya produk-produk yang sebelumnya ditujukan ke pasar AS, masuk ke Indonesia yang akan berdampak melemahnya daya saing industri nasional dan berujung pada pemutusan hubungan kerja dan pelemahan daya beli masyarakat.

Ulasan Pasar 7 Oktober 2008

Oleh Harry Setiadi Utomo, Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit


Bursa saham masih melanjutkan koreksinya di perdagangan hari kedua pekan ini. IHSG ditutup di level 1.619,72 melemah 29,02 poin (-1,8%) tertekan oleh koreksi sektor pertambangan dan sektor keuangan perbankan.

Sektor pertambangan masih menjadi penekan terbesar IHSG dengan koreksi sebesar 72,25 poin ditutup di level 1.353,00. Saham Adaro Energy (ADRO) sebagai emiten batu bara memimpin pelemahan sektor pertambangan oleh karena sentimen negatif dari pergerakan harga minyak dunia yang melemah dan sempat menyentuh level $87 per barel. Saham ADRO ditutup melemah Rp210 (-17%) ke level Rp1.000 diikuti oleh saham Indo Tambangraya Megah (ITMG) yang tertekan sebesar Rp1.500 (-8,7%) ke level Rp15.800 dan saham Bayan Resources (BYAN) yang melemah Rp250 (-17,2%) ke level Rp1.200. Saham Medco Internasional (MEDC) tertekan Rp275 (-9,1%) ke level Rp2.725. Saham Bumi Resources ditutup tidak berubah dari posisi sehari sebelumnya yaitu Rp2.175 karena suspend oleh pihak bursa untuk mencegah aksi jual lebih lanjut yang dapat menekan IHSG lebih dalam lagi.

Sektor keuangan tertekan oleh koreksi saham-saham perbankan setelah Bank Indonesia memutuskan kembali menaikkan suku bungan BI rate sebesar 25 bps ke level 9,5% mengikuti laju inflasi yang kembali meningkat menembus level 12% untuk bulan September 2008 (yoy) atau naik 0,97% dari bulan Agustus 2008 (mtm). Level BI rate yang kembali naik akan semakin memperbesar potensi NPL (non performing loan) perbankan dan di sisi lain, perbankan pun akan semakin sulit untuk meningkatkan pendapatan bunganya karena kemampuan pelunasan oleh debitor yang makin melemah. Dari sektor konsumsi, masyarakat akan berkurang daya belinya dan permintaan terhadap kredit konsumsi perbankan akibat makin tingginya bunga kredit. Saham Bank BRI (BBRI) melemah Rp150 (-3,03%) ke level Rp4.800, saham Lippo Bank (LPBN) tertekan Rp200 (-10,25%) ke level Rp1.750, dan saham Bank Danamon (BDMN) melemah Rp125 (-3%) ke level Rp4.750.

Mengikuti pelemahan di sektor perbankan, sektor aneka industri ikut melemah yang dipimpin oleh koreksi saham emiten otomotif Astra Internasional (ASII) sebesar Rp500 (-3,03%) ke level Rp16.500. Melemahnya daya dukung perbankan dalam menyalurkan kredit konsumsi bagi masyarakat akan berdampak melemahnya penjualan kendaraan.

Selasa, Oktober 07, 2008

Ulasan Pasar 6 Oktober 2008

Oleh Harry Setiadi Utomo, Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit

Di hari pertama perdagangan setelah libur panjang Idul Fitri, bursa saham ditutup terkoreksi tajam sebesar 10,03% atau 183,76 poin dari penutupan sepekan sebelumnya (29/9) ke level 1.648,74. Investor asing mencatat penjualan bersih sebesar Rp117 miliar sebagai kompensasi menutup kerugian mereka di bursa global selama sepekan terakhir akibat sentimen negatif krisis keuangan AS.

Dampak dari aksi jual investor asing tersebut kemarin, nilai rupiah terhadap dolar AS melemah dan memicu aksi jual lanjutan hingga penutupan perdagangan di sore kemarin serta rupiah ditutup di level Rp9.575/US$, posisi terendah sejak Agustus 2007. Laju inflasi September 2008 sebesar 0,97% atau lebih tinggi dari inflasi Agustus 2008 yang sebesar 0,51% ikut memberikan sentimen negatif bagi pelaku pasar. Inflasi kalender Januari-September sebesar 10,47% dan inflasi tahunan sebesar 12,14%.

Tekanan jual terbesar terjadi pada sektor pertambangan yang tertekan 22,25% ke level 1.425,26 dipimpin oleh koreksi harga saham Bumi Resources (BUMI) yang jatuh ke level Rp2.175 turun Rp1.025 (-32%) dan juga saham PT Tambang Batu bara Bukit Asam (PTBA) yang jatuh ke level Rp7.200 turun Rp2.150 (-23%). Tekanan jual juga dipicu oleh koreksi harga batu bara di Newcastle Port Australia sebesar 6,1% dalam sepekan terakhir ke level $121,17 dan harga minyak yang kembali melemah ke level $90 per barel mengantisipasi pelemahan ekonomi AS.

Sektor perkebunan juga terkoreksi sebesar 19,42% ke level 1.200,3 oleh koreksi saham Astra Agro Lestari yang terkoreksi Rp2.950 (-22,8%) ke level Rp10.000 mengikuti koreksi harga komoditas CPO di bursa Malaysia yang jatuh ke level $1.825 per ton atau turun 14,4% dalam sepekan terakhir.

Nilai rupiah yang melemah terhadap dolar AS sudah pasti akan menambah beban biaya dana pihak ketiga perbankan yang berdenominasi dolar AS. Saham perbankan seperti saham Bank BNI (BBNI) melemah Rp230 (-23,71%) ke level Rp740, saham Bank BRI (BBRI) melemah Rp450 (-8,33%) ke level Rp4.950, saham Bank Mandiri (BMRI) melemah Rp150 (-5,66%) ke level Rp2.500, dan saham Bank BCA (BBCA) melemah Rp100 (-3,17%) ke level Rp3.050.

Sektor industri dasar tertekan 10,06% ke level 146,54 oleh koreksi saham emiten semen seperti Semen Gresik dan Holcim. Saham Semen Gresik (SMGR) ditutup melemah Rp650 (-19%) ke level Rp2.775 dan saham Holcim (SMCB) ditutup melemah Rp200 (-23,5%) ke level Rp650.

Senin, Oktober 06, 2008

Investor keluar sejenak

Ulasan Pasar 29 September 2008
Oleh Harry Setiadi Utomo, Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit

Sehari menjelang libur lebaran, bursa saham kembali tertekan oleh aksi jual investor atas saham-saham di sektor pertambangan dan sektor aneka industri khususnya otomotif. Pergerakan harga minyak dunia dan perkembangan kebijakan pemerintah AS menjalankan rencana bailout dana sebesar US$700 miliar untuk menyelamatkan likuiditas keuangannya menjadi perhatian investor dari sisi eksternal pasar. Investor lebih memilih untuk keluar sejenak dari bursa selama libur lebaran, untuk mengantisipasi risiko yang dapat terjadi selama liburan. IHSG senin kemarin (29/9) ditutup di level 1.832,5 melemah 13,58 poin (-0,74%).

Sektor pertambangan menjadi penekan IHSG dengan koreksi terbesar yaitu 2,87% ditutup di level 1.833,24. Saham Bumi Resources turun Rp200 (-5,9%) ke level Rp3.200 dan saham PT Tambang batu bara bukit asam (PTBA) turun Rp600 (-6,03%) ke level Rp9.350. Investor mencermati harga minyak dunia yang kembali melemah ke level $103 per barel atau turun 2,8% dalam satu hari perdagangan. Selain itu, harga komoditas batu bara di Newcastle Port Australia juga tertekan ke level $128,98 per ton pada jumat sebelumnya atau turun 6,06% dalam sepekan terakhir.

Sektor aneka industri tertekan 1,34% ditutup di level 326,15 oleh koreksi saham otomotif Astra Internasional sebesar 2,3% atau Rp400 ke level Rp17.100. Investor mengantisipasi melemahnya pendapatan usaha Astra Internasional seusai musim mudik lebaran. Selain itu, sentimen negatif juga berasal dari turunnya harga CPO sebesar 5,3% ke level $636 yang menekan harga saham anak perusahaan Astra Internasional yaitu Astra Agro Lestari (AALI) sebesar Rp300 (-2,3%) ke level Rp12.950.

Selain sektor pertambangan dan aneka industri, IHSG juga tertekan oleh sektor barang konsumsi yang turun 1,51% ke level 381,36, sektor keuangan yang turun 0,33% ke level 203,37, sektor infrastruktur yang turun 0,32% ke level 570,91, dan sektor transportasi yang turun 0,43% ke level 261,33.