Senin, Oktober 13, 2008

Mau kemana ekonomi kita?


Kasus bangkrutnya Lehman Brothers, salah satu institusi keuangan terbesar AS, menjadi pemicu melemahnya bursa regional Asia Pasifik termasuk bursa saham Indonesia yang dikategorikan sebagai salah satu emerging market. Ketika muncul berita Lehman Brothers mengalami bangkrut dan mengajukan kepailitan, terjadi semacam shock condition pada investor asing maupun investor lokal di bursa efek Indonesia.


Investor asing melakukan aksi jual saham di bursa kita untuk menutup kerugian mereka dari merosotnya imbal hasil di bursa New York dan juga bursa negara maju lainnya seperti bursa Tokyo. Hasilnya, selama sepekan terakhir awal Oktober ini, bursa efek Indonesia ditutup terkoreksi tajam sebesar 10,03% atau 183,76 poin dari penutupan sepekan sebelumnya (29/9) ke level 1.648,74. Investor asing mencatat penjualan bersih sebesar Rp117 miliar sebagai kompensasi menutup kerugian mereka di bursa global selama sepekan terakhir akibat sentimen negatif krisis keuangan AS. Dampak dari aksi jual investor asing tersebut, nilai rupiah terhadap dolar AS terus melemah ke level Rp9.599/US$ pada awal Oktober lalu, posisi terendah sejak Agustus 2007.


Sejak awal September 2008 hingga awal Oktober 2008, IHSG telah terkoreksi sebanyak 515,88 poin (-23,83%) dari level 2.164,62 ke level 1.648,74 dan nilai rupiah terhadap dolar AS ikut melemah sebesar 4,78% dari posisi Rp9.161,00/US$. Aksi investor asing melepas portofolionya ikut melemahkan rupiah terhadap dolar AS. Nilai rupiah terhadap dolar AS yang melemah sangat tidak menguntungkan bagi kegiatan impor kita karena akan membuat harga barang impor menjadi lebih mahal dan akan membuat daya beli masyarakat dalam negeri ikut melemah.


Dampak dari lemahnya likuiditas pada sektor keuangan AS sudah pasti akan dirasakan oleh kegiatan ekspor Indonesia ke AS dalam jangka panjang. Melemahnya likuiditas di sektor keuangan akan membuat masyarakat AS kesulitan mendapatkan kredit konsumsi selain menghadapi pengurangan gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja akibat melambatnya kegiatan ekonomi yang pada akhirnya menjadikan mereka kehilangan daya beli. Berdasarkan proyeksi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, krisis finansial AS berpotensi menekan ekspor Indonesia ke negara tersebut hingga 20% pada triwulan IV-2008.


Dalam jangka pendek, ekspor Indonesia ke AS memang tidak secara langsung terasa dampaknya akibat krisis keuangan di negara adidaya tersebut. Namun, untuk jangka panjang hingga tahun 2009 akan mulai terasa dampaknya karena akan diikuti oleh melemahnya nilai ekspor ke negara lainnya seperti China, India, dan Jepang seiring pelemahan nilai ekspor mereka ke AS. Akumulasi pelemahan ekspor dalam jangka panjang inilah yang mesti diwaspadai oleh Indonesia.


Bila kita mendasarkan data pada Departemen Perdagangan, tujuan pasar ekspor Indonesia saat ini memang semakin terdiversifikasi, peran AS dan Eropa semakin menurun sehingga dampak langsung dari krisis finansial di Amerika Serikat tersebut belum akan dirasakan hingga akhir 2008. Pangsa ekspor ke Eropa cenderung menurun dari 17,1% pada 2003 menjadi 13,9% pada pertengahan 2008 dan ke AS dari 14,7% menjadi 11,6%.


Kondisi yang perlu diwaspadai adalah jika krisis ini berkelanjutan maka ekspor Indonesia akan terpengaruh, maka dari itu diversifikasi pasar yang telah berlangsung mesti terus digalakkan guna mengantisipasi resesi di AS dan Eropa serta kemungkinan terjadinya penurunan pertumbuhan negara-negara Asia karena resesi di negara-negara maju.
Produk ekspor utama Indonesia ke Amerika Serikat seperti produk tekstil, karet, udang, kopi, kakao dan sepatu diperkirakan masih dapat tumbuh walaupun ada beberapa produk yang mengalami penurunan seperti halnya produk kayu olahan dan furnitur. Hal ini berkaitan dengan menurunnya pembangunan perumahan di AS.


Dengan kecenderungan melemahnya harga komoditi utama ekspor Indonesia di pasar internasional seperti saat ini dan melemahnya permintaan dunia, dalam semester kedua tahun 2008 ekspor Indonesia akan menghadapi tantangan yang cukup berat yang pada dasarnya sudah diperhitungkan sejak awal tahun sehingga target ekspor nonmigas tahun 2008 sebesar 12,5 persen yang sesuai dengan proyeksi pertumbuhan pemerintah sebesar 6,3%, masih akan tercapai.


Sebelum guncangan krisis keuangan AS kali ini, perlambatan pertumbuhan ekonomi AS karena kisruh di sektor properti tahun 2007 akibat krisis subprime mortgage atau gagal bayar kredit perumahan yang bernilai rendah, juga telah menekan ekspor Indonesia ke AS. Pada tahun 2007, ekspor Indonesia ke AS hanya tumbuh 5%, jauh lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekspor sepanjang 2002 hingga 2006 yang mencapai 12% per tahun.


Kondisi ini menunjukkan bahwa ekspor Indonesia tidak bisa terus-menerus tergantung oleh perekonomian AS dan perlu meningkatkan diversifikasi pasar ekspor bagi produk Indonesia. Bila dipertahankan, maka yang terjadi adalah pembeli di AS pasti akan meminta negosiasi harga. Ketergantungan Indonesia terhadap perekonomian negara maju seperti AS yang menganut sistem pasar bebas justru membuat Indonesia sulit untuk membangun secara mandiri.


Aksi jual saham besar-besaran yang memperlemah nilai rupiah terhadap dolar AS serta potensi melemahnya nilai ekspor mestinya dapat diantisipasi bila produsen kita tidak tergantung oleh pasar AS dan kita dapat mengandalkan pasar lain sebagai tujuan ekspor.


Dampak dari pelemahan nilai ekspor tentunya akan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Indonesia seperti berkurangnya kegiatan produksi dalam negeri yang berujung pada pemutusan hubungan kerja dan permasalahan sosial serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi akibat turunnya pendapatan masyarakat. Bila kondisi tersebut terjadi, akan semakin sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan statusnya dari saat ini sebagai negara berkembang. Seperti yang dijelaskan oleh Dos Santos dalam teori Struktur Ketergantungan yang menyebutkan kegiatan perdagangan negara berkembang yang terpusat pada negara maju akan membuat suatu hubungan yang tidak sederajat. Hal ini disebabkan karena negara maju sebagai pembeli tunggal akan berupaya mengatur harga yang akan merugikan negara berkembang.


Selain itu, banyaknya kegiatan ekspor negara berkembang yang berbentuk komoditas primer, seperti tekstil, memaksa Indonesia untuk fokus pada komoditas tersebut karena jaringan pemasaran yang telah terbentuk sebelumnya, sudah dikuasai oleh negara maju dalam hal ini AS. Indonesia bahkan akan semakin tidak mempunyai pilihan lain dalam orientasi produk ekspornya selain komoditas primer karena hanya di bidang itulah ekspor Indonesia mempunyai porsi yang besar untuk meningkatkan devisa dalam negeri yang akan digunakan untuk kepentingan pembangunan ekonomi dalam negeri. Berdasarkan data Kadin, pasar AS merupakan tujuan ekspor terbesar bagi produk tekstil Indonesia karena sebesar 43% dari total ekspor tekstil diserap pasar AS pada tahun 2007.


Akibat dari hubungan yang tidak sederajat dalam hal pengaturan harga dan juga penguasaan jaringan pemasaran produk primer ini, Indonesia juga akan selalu mengalami defisit dalam neraca pembayarannya karena di sisi lain, AS yang menguasai harga produk industri akan meningkatkan harga jual produknya melalui pengenaan biaya royalti untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat dari Indonesia. Posisi tersebut pada akhirnya akan membuat Indonesia semakin tergantung pada AS atau negara maju lainnya dalam hal pembiayaan defisit APBN.


Meskipun bila kita merunut pendapat Rostow dalam teori tahapan pertumbuhannya, bahwa bantuan pembiayaan defisit APBN adalah sebagai langkah yang diperlukan untuk mempercepat pencapaian negara berkembang menuju ke tahapan tinggal landas dan untuk proses percepatan itu diperlukan kerjasama dengan negara maju dalam bentuk penyediaan dana dengan pembangunan prasarana dan infrastruktur menjadi perhatian utama bantuan tersebut di dalam neraca APBN. Namun di sisi lain, negara maju seperti AS akan menuntut lebih banyak dalam hal lalu lintas masuk produk-produknya ke Indonesia untuk kepentingan pasar mereka. Hal inilah yang menjadi permasalahan negara berkembang seperti Indonesia yang terlalu berorientasi ekspor kepada negara maju dengan produk utama adalah komoditas primer, tetapi membutuhkan produk industri yang berharga jauh lebih tinggi dari nilai ekspor produk primer yang berujung pada defisit APBN dan makin besarnya bantuan dana dari negara maju yang meminta kelonggaran bagi produk-produk industrinya untuk masuk secara bebas mencari pasar dalam negeri serta menekan industri produk nasional.


Menghadapi krisis keuangan di AS, pertumbuhan industri dalam negeri dipastikan akan makin melemah karena ditambah beban beralihnya produk-produk negara lain seperti China dan India yang mencari pasar selain AS. Produk-produk tersebut tentu mencari pasar yang mudah dimasuki dan Indonesia merupakan salah satu pasar tersebut. Kondisi ini tentu akan semakin memberatkan persaingan dan pertumbuhan industri produk dalam negeri yang berpotensi akan melemahkan sektor riil dan kegiatan ekonomi yang berpusat pada rakyat. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk meninjau kembali sistem ekonominya yang cenderung berorientasi pada pasar bebas dan mengabaikan potensi pasar dalam negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan. Kebijakan perdagangan yang lebih liberal telah membuat produk dalam negeri terpuruk karena membanjirnya produk impor, sehingga perlu keberpihakan pemerintah untuk kepentingan nasional dalam perdagangan bebas.


Negara-negara maju menempatkan nasionalisme di atas kepentingan perdagangan bebas. Indonesia juga harus mampu meletakkan nasionalisme pada era sekarang dengan memberikan kemudahan, insentif, dan subsidi bagi perkembangan dan perlindungan produk nasional. Negara maju memiliki strategi untuk melindungi produk, misalnya dengan memberikan subsidi, hambatan tarif dan trik perlindungan atas nama hak asasi manusia, sedangkan Indonesia justru terlalu bebas yang berujung barang-barang dari luar masuk dengan leluasa. Contoh terbaru adalah produk batik dan tekstil asal China yang membanjiri pasar Indonesia dengan harga lebih murah dan pemerintah terkesan membiarkannya dengan alasan perdagangan bebas. Pemerintah baru sebatas memberikan program-program di atas kertas, misalnya "Cintai Produk Dalam Negeri" yang dicetuskan pada 2006, tetapi sampai saat ini slogan itu belum berjalan.


Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan kebijaksanaan pemerintah yang berpijak pada kepentingan rakyat tidak berarti akan menghambat upaya mempertahankan atau bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan yang berasal dari produktivitas rakyat dan dana yang dihimpun dari tabungan rakyat akan membuat rakyat menjadi lebih mandiri dan akan lebih kuat rasa nasionalismenya termasuk dalam penggunaan produk-produk industri dalam negeri, sehingga akan memperkokoh posisi Indonesia dalam era perdagangan bebas seperti sekarang ini.

Daya tahan dan daya saing nasional mutlak diperlukan untuk memperkuat perekonomian nasional dalam menghadapi ancaman dan krisis dari luar negeri seperti krisis keuangan di AS saat ini. Daya saing juga diperlukan dalam menghadapi gempuran produk luar negeri yang difasilitasi dengan pengurangan bea masuk.
Pembenahan dan penekanan biaya infrastruktur, biaya energi listrik, sistem logistik kepelabuhan dan kepabeanan termasuk penurunan biaya THC (Terminal Handling Cost) sangat diperlukan untuk memperlancar lalu lintas barang. Selain itu, debirokratisasi, penajaman insentif fiskal dan non fiskal kepada industri berorientasi ekspor serta diversifikasi pasar ekspor mutlak dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing ekspor dan pangsa pasar agar tidak terlalu tergantung kepada AS atau negara maju lainnya seperti China, India dan juga Jepang. Pengamanan pasar domestik melalui tindakan antisipasi Bea dan Cukai terhadap pengalihan barang-barang impor dari negara-negara lain perlu segera diterapkan agar industri dalam negeri terlindungi dan mampu meningkatkan pangsa pasarnya di dalam negeri.


Indonesia juga mengharapkan peran serta masyarakat untuk menopang kekuatan diri dengan meningkatkan kontribusi di sektor riil. Untuk itu, perbankan syariah yang memang berdiri untuk mengembangkan sektor riil diharapkan untuk semakin mempermudah akses masyarakat yang membutuhkan modal bagi pengembangan usahanya. Selain modal usaha, inovasi produk, dan strategi promosi juga ikut mempunyai andil dalam bersaing dengan produk luar negeri yang beralih masuk ke Indonesia. Kenapa saya mengatakan bank syariah? seperti yang anda lihat semua, di tengah krisis semacam ini Bank Indonesia justru kembali menaikkan suku bunga BI rate menjadi 9,5% atau naik 25bps yang diprediksi akan dapat meredam gejolak kenaikan harga (imported infaltion) dengan meningkatkan aliran dana masuk ke Indonesia dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, kondisi yang terjadi justru sebaliknya, kenaikan BI rate menambah kepanikan pelaku pasar karena berpotensi memperberat dunia usaha dalam mendapatkan kredit perbankan dan menurunkan daya saing industri akibat naiknya biaya dana. Selain itu, kenaikan BI rate pasti akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit yang memperberat biaya kredit konsumsi masyarakat dan berujung melemahnya penjualan di beberapa sektor, seperti konsumsi, industri dasar, dan aneka industri terutama otomotif dan ancaman kredit macet yang membayangi sektor perbankan, sehingga mendorong investor melepaskan asetnya di bursa. Selama sepekan kemarin, sektor konsumsi terkoreksi 10,85% ke level 339,97, industri dasar terkoreksi 21,67% ke level 127,63, aneka industri terkoreksi 20,8% ke level 258,29, dan sektor keuangan perbankan terkoreksi 12,66% ke level 177,62. bagaimana dengan rupiah? terus melemah ke level Rp9.800, bahkan sempat menyentuh Rp10.800 di pasar spot Hongkong pada jumat (10/10), karena investor asing makin tidak percaya dengan kondisi sektor riil dalam negeri, naiknya ancaman daya beli yang makin melemah yang berujung pada naiknya permintaan dolar AS agar nilai aset mereka tidak semakin tergerus. Investor lokal pun tidak kalah panik, mereka berusaha menutup kerugian akibat koreksi di bursa saham dengan membeli dolar AS, dan juga untuk mengamankan ketersediaan dolar AS untuk kepentingan impor.


Kita semua tentu diharapkan untuk selalu optimis, bahwa di setiap kejadian pasti akan membawa hikmah. Pengumpulan harta yang berlebihan dan tidak terkendali oleh institusi keuangan AS justru membawa dampak negatif tidak saja untuk negera tersebut, namun juga untuk negara-negara lainnya di dunia yang merupakan pasar bagi produk AS selama ini. Prinsip transaksi perdagangan yang berkeadilan harus lebih disadari dan diterapkan oleh pelaku pasar dan meninggalkan pola zero submit yang selama ini mewarnai perdagangan terutama di sektor pasar modal yang berujung terkurasnya dana investor lokal ke pelaku pasar luar negeri. Sungguh, kejadian ini sangat di luar dugaan kita semua. Pola ekonomi pasar yang tercipta dan digadaikan oleh AS selama ini ke negara-negara berkembang justru menghantam ekonomi negara adidaya tersebut, tanpa ampun. Kesombongan pelaku pasar untuk mengharamkan adanya campur tangan pemerintah pada akhirnya mesti runtuh oleh kerakusannya sendiri. Bagaimanapun juga, pada akhirnya pemerintahlah yang menangung segala hutang-hutang tersebut yang dibebankan dari pajak rakyat AS sendiri. Suatu harga yang mesti dibayar mahal oleh publik AS. Dan untuk Indonesia, mau kemana ekonomi kita selanjutnya?

Harry Setiadi Utomo, Analis Bisnis Indonesia Intelligence Unit

Tidak ada komentar: